Sejarah Perkembangan
Telematika di Indonesia
Perkembangan
telematika di indonesia dimulai dari sejarah pada peristiwa proklamasi 1945 yang membawa
perubahan bagi masyarakat Indonesia dan menempatkannya
pada situasi krisis jati diri. Krisis ini terjadi karena Indonesia sebagai
sebuah negara yang belum memiliki perangkat sosial, hukum, dan tradisi yang
mapan. Situasi itu menjadi ‘bahan bakar’ bagi upaya-upaya pembangunan karakter
bangsa di tahun 50-an dan 60-an. Di awal 70-an, ketika kepemimpinan soeharto, berorientasi
pembangunan bangsa yang digeser ke arah ekonomi,sementara proses – proses yang
dirintis sejak tahun 50-an yang masih belum mencapai pada tingkat kemantangan.
Dalam
latar belakang sosial pada telekomunikasi dan informasi, mulai dari radio,
telegrap, dan telepon, televisi, satelit telekomunikasi, hingga ke internet dan
perangkat multimedia tampil yang berkembang di Indonesia. Perkembangan telematika
tersebut bagi menjadi 2 masa yaitu pada masa sebelum (pra satelit) dan pada
masa satelit.
1.
Pada Masa Pra-Satelit
Ada 2 media yang
berhubungan pada masa pra satelit yaitu
a. Media Radio dan Telepon
Di
periode pra satelit (sebelum tahun 1976), perkembangan teknologi komunikasi di
Indonesia masih terbatas pada bidang telepon dan radio. Radio Republik
Indonesia (RRI) lahir dengan di dorong oleh kebutuhan yang mendesak akan adanya
alat perjuangan di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, dengan menggunakan
perangkat keras seadanya. Dalam situasi demikian ini para pendiri RRI
melangsungkan pertemuan pada tanggal 11 September 1945 untuk merumuskan jati
diri keberadaan RRI sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dengan rakyat,
dan antara rakyat dengan rakyat.
Sedangkan
telepon pada masa itu tidak terlalu penting sehingga anggaran pemerintah untuk
membangun telekomunikasi pun masih kecil jumlahnya. Saat itu, telepon dikelola
oleh PTT (Perusahaan Telepon dan Telegrap) saja. Sampai pergantian rezim dari
Orla ke Orba di tahun 1965, RRI merupakan operator tunggal siaran radio di
Indonesia. Setelah itu bermunculan radio – radio siaran swasta. Lima tahun
kemudian muncul PP NO. 55 tahun 1970 yang mengatur tentang radio siaran non
pemerintah.
Periode
awal tahun 1960-an merupakan masa yang paling sulit bagi pertelekomunikasian
Indonesia, para ahli teknologi masih menggeluti teknologi sederhana dan “kuno”.
Misalnya saja, PTT masih menggunakan sentral-sentral telepon yang manual,
teknik radio High Frequency ataupun saluran kawat terbuka (Open Were Lines).
Pada masa itu, banyak negara pemberi dana untuk Indonesia – termasuk pendana
untuk pengembangan telekomunikasi, menghentikan bantuannya. Hal itu karena
semakin memburuknya situasi dan kondisi ekonomi dan politik di Indonesia.
Tercatat
bahwa pada masa 1960-1967, hanya Jerman saja yang masih bersikap setia dan
menaruh perhatian besar pada bidang telekomunikasi Indonesia, dan menyediakan
dana walau di masa-masa sulit sekalipun. Ketika itu pengembangan telekomunikasi
masih difokuskan pada pengadaan sentra telepon, baik untuk komunikasi lokal
maupun jarak jauh, dan jaringan kabel. Indonesia saat itu belum memiliki
satelit. Sentral telepon beserta perlengkapan hubungan jarak jauh ini diperoleh
dari Jerman. Pada saat itu, Indonesia hanya dapat membeli produk yang sama,
dari perusahaan yang sama, yakni Perusahaan Jerman. Tidak ada pilihan lain bagi
Indonesia.
Keleluasaan
barulah yang bisa dirasakan setelah di tahun 1967/1968 mengalir
pinjaman-pinjaman ke Indonesia, baik bilateral ataupun pinjaman multilateral
dari Bank Dunia, melalui pinjaman yang disepakati IGGI. Akan tetapi, pada masa
inipun inovasi dalam pemfungsian teknologi telekomunikasi masih belum
berkembang dengan baik di negeri ini. Peda dasarnya kita memberi dan memakai
perlengkapan seperti switches, cables, carries yang sudah lazim dipakai sebelumnya.
b. Media Televisi
Badan penyiaran televisi yang lahir pada tahun
1962 sebelum adanya satelit yang semula hanya dimaksudkan sebagai perlengkapan
bagi penyelenggara Asian Games IV di Jakarta. Siaran percobaan pertama kali
terjadi pada 17 Agustus 1962 yang menyiarkan upacara peringatan kemerdekaan RI
dari Istana Merdeka melalui microwave. Dan pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI
bisa menyiarkan upacara pembukaan Asian Games, dan Tanggal itu
menyatakan sebagai hari jadi TVRI. Terdorong oleh
inovasi, akhirnya pada tanggal 14 November 1962 untuk pertama kalinya TVRI memberanikan diri melakukan siaran
langsung dari studio yang berukuran 9x11 meter dan tanpa akustik yang memadai.
Acaranya terbatas, hanya berupa permainan piano tunggal oleh B.J. Supriadi
dengan pengaruh acara Alex Leo.
Lebih setahun setelah siaran pertama,
barulah keberadaan TVRI dijelaskan dengan pembentukan Yayasan TVRI melalui
Keppres No. 215/1963 tertanggal 20 oktober 1963. Antara lain disebutkan bahwa
TVRI menjadi alat hubungan masyarakat (mass communication media) dalam
pembangunan mental/spiritual dan fisik daripada Bangsa dan Negara Indonesia
serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya.
Sampai
tahun 1989, TVRI merupakan operator tunggal di bidang penyiaran televise. Jadi sebelum satelit palapa mengorbit, Indonesia hanya mengenal telekomunikasi
yang bersifat terestrial, yakni yang jangkauannya masih dibatasi oleh lautan.
Telekomunikasi seperti ini tidak bisa menjangkau pulau-pulau kecuali melalui
penggunaan SKKL (Saluran Komunikasi Kabel Laut) yang mahal dan sulit
dipergunakan.
2. Masa
Satelit
Satelit Domestik Palapa
Pada
gagasan tentang peluncuran satelit bagi telekomunikasi domestik di Indonesia
bisa ditelusuri asal muasalnya dari sebuah konferensi di Janewa tahun 1971 yang
disebut WARCST (World Administrative Radio Confrence on Space
Telecomunication).
Pada
konferensi itu di tampilkan pameran dari
perusahaan raksasa pesawat terbang Hughes. Perusahaan inilah yang mengusulkan ide
pemanfaatan satelit bagi kepentingan domestik Indonesia. Hal tersebut disambut
oleh Suhardjono yang berlatar belakang militer dan membawa masalah satelit itu
sampai ke presiden RI.
Selain
pertimbangan kelayakan ekonomi dan teknis, sejarah peluncuran satelit ini juga
diwarnai oleh kepentingan politik dimana hubungan antara Indonesia dengan
negara- negara lain sudah mulai bersahabat. Di sisi lain, satelit memungkinkan
penyebaran luas ideologi negara ke masyarakat luas melalui TV, satelit juga
menguntungkan secara ekonomi.
Komunikasi
tentang cara-cara menggali sumber daya alam dapat berlangsung dengan mudah. Ini
berlaku untuk kasus tembaga pura (Freeport) dan di Dili. Peluncuran satelit
Palapa di Cape Canaveral, Florida, bulan Agustus 1976 pada panel peluncuran
terdapat 3 orang Indonesia dan perwakilan dari perusahaan NASA dan
Hughes.
Kejadian
ini diresmikan juga melalui pidato kenegaraan oleh presiden Soeharto di
Jakarta, tanggal 16 Agustus 1976. ini merupakan satu- satunya proyek teknologi
yang mendapat tempat terhormat di gedung Parlemen. Namun peluncuran satelit itu
merupakan kebijakan nasional yang gagasan awalnya dicetuskan oleh
pemerintah.
Hal
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia pernah mengalami ancaman
perpecahan. Untuk mempersatukan tanah air yang sangat luas ini diperlukan
sarana perhubungan yang mencakup seluruh wilayah nusantara. Proses kelahiran
satelit ini hanya melibatkan sedikit teknokrat dan teknologi yang berpihak pada
kepentingan masa Orba (orde baru).
Dampak Setelah Adanya Satelit Palapa
Dengan
semakin bergantungnya Indonesia pada teknologi satelit, muncullah sejumlah
perusahaan yang bergerak dalam produksi perlengkapan terkait, seperti RFC
(milik Iskandar Alisjahbana), LEN (milik Kayatmo), PT. INTI. Setelah periode
itu, aspek bisnis di dunia telekomunikasi mencuat. Inovasi lebih banyak terjadi
pada penyediaan layanan, sementara pengembangan teknologi untuk komponen
berkurang.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di tahun 1988
membuat kebutuhan telekomunikasi melonjak secara drastis. Untuk memenuhi
kebutuhan telepon yang melonjak, disadari pemerintah perlunya perubahan
regulasi, yang kemudian membuahkan UU no. 3 tahun 1989 tentang pengertian
telekomunikasi yang diperluas hingga mencakup alat pengiriman data seperti
facsimile dan telex, dan lain-lainnya.
Sebelum
lahirnya UU ini, Telkom dan Indosat disebut sebagai badan penyelenggara
telekomunikasi yang menyediakan seluruh jejaring dan layanan jasa. Dampak
positif dari berlakunya UU tersebut adalah mulai masuknya pihak-pihak swasta
dengan modal yang besar, walaupun dalam skala usaha yang terbatas.
Mereka
datang dengan membawa teknologi baru, tenaga ahli, manajemen yang baru. Ini
semua kemudian menciptakan iklim usaha yang baru dalam penyelenggaraan
telekomunikasi di Indonesia. Dengan terlibatnya pihak asing dalam pengadaan
dana, teknologi dan menejemen, perkembangan teknologi telekomunikasi berkembang
dengan pesat. Hal ini terjadi sekitar pada tahun 1990-an dan dampaknya terlihat
mulai pada tahun 1991 khususnya terlihat jelas bahwa jangkauan telekomunikasi
di Indonesia menjadi bertambah luas.
Perkembangan
teknologipun berkembang pesat, mulai dari pesawat telepon manual ke otomatis,
dan dari analog menjadi digital. Pada gilirannya perkembangan ini menuntut
adanya pengaturan infrastruktur dan standarisasi peralatan. Tak lama kemudian
masuklah teknologi mobile-telecommunication.
Berkembanglah
pemakaian handphone yang bardampak tumbuhnya usaha-usaha yang tidak hanya
menyediakan layanan atau jejaring saja, melainkan juga membangun pabrik-pabrik
dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan kabel. Menarik untuk dicatat bahwa di era
serbuan bisnis telekomunikasi itu, ternyata kaidah dan aturan bisnis professional
tidak sepenuhnya diikuti.
Sementara
itu faktor politik tampaknya justru mengambil peranan penting. Kala itu terjadi
campur tangan bisnis dari “Keluarga Cendana” yang mengambil peranan sebagai
mitra bisnis PT Telkom dan Indosat yang kemudian diikuti oleh krono-kroni
mereka seperti Liem Sio Liong melalui “Sinar Mas”- nya dan lain-lain. Di era
emas telekomunikasi itu, tumbuh dorongan kuat agar Bank Indonesia membuka
pintunya lebar-lebar bagi pihak swasta asing. Bahkan mereka menginginkan
adanya privatisasi Telkom dan Indosat dalam penyelenggaraannya. Dampak dari
dorongan ini mencuatnya pandangan bahwa regulasi yang ada sudah tidak memadai
lagi. Di sekitar tahun 1996, mulailah disusun rencana untuk meninjau kembali UU
No. 3 tahun 1989.
Nusantara
21
Perkembangan
satelit dipacu lebih lanjut dengan diresmikannya “Nusantara 21” (N21) oleh
presiden RI pada tanggal 27 Desember 1996. Menggelindingnya N21 menjadi masukan
utama untuk pembentukan Tim koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui
Kepres No. 30 tahun 1997. Tugas TKTI menurut Inpres No.6 tahun 2001 tentang
pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia adalah :
1. Mengkoordinasikan perencanaan dan memelopori program aksi dan inisiatif
untuk meningkatkan perkembangan dan pendayagunaan teknologi telematika
Indonesia serta memfasilitasi dan memantau pelaksaannya.
2. Memperkuat
kemampuan menggalang sumber daya yang ada di Indonesia guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan semua arah pengembangan dan pendayagunaan teknologi
telematika, melaksanakan forum untuk membangun consensus antar pihak-pihak
terkait di sector pemerintah dan swasta, serta akses mengakses pengalaman
internasional dalam mengembangkan sistem infrastruktur infomasi nasional.
Tim
ini diketuai oleh Menko Produksi Industri Strategis (Ginanjar Kartasasmita),
wakil ketua Menparpostel, beranggotakan tujuh menteri departemen (Menkeu,
Menhankam, Menpen, Mendagri, Menperindag, Menaker, dan Mendikbud) serta lima
menteri negara (Mensesneg, Menristek, MenPAN, Menivest, Men-PPN).
Visi
N21 adalah menyediakan wahana berbasis teknologi telekomunikasi dan informatika
nasional di dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari masyarakat
tradisional (traditional society) menjadi sebuah masyarakat yang berwawasan
IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based society).
Konsep
N21 merupakan jawaban atas tantangan globalisasi komunikasi dan informasi
berupa jaringan komunikasi terpadu. N21 menggunakan kerangka pendekatan, antara
lain:
(a) Memanfaatkan
semua teknologi yang dapat mendukung pembangunan di semua sektor,
(b) membentuk
suatu jaringan maya informasi atau adi marga informasi (virtual information
network atau anformation superhighway) yang menghubungkan seluruh pelosok tanah
air.
Dengan dikembangkannya N21 maka pada tahun 2000 atau memasuki abad 21 seluruh
kecamatan di Indonesia akan mempunyai akses ke semua teknologi komunikasi dan
computer (K-2) dalam suatu jaringan terpadu yang didukung oleh 11 sistem
satelit komunikasi. Sekarang ini baru ada tiga sistem satelit yang beroperasi,
yaitu PSN dengan Palapa 1. telkom dengan Palapa B4 dan B 2R, dan satelindo
dengan Palapa C 1 dan C 2. Pengembangan infrastruktur fiik mengandung tiga
kemungkinan penggunaan, yaitu :
(1) Adiguna
Marga Kepulauan (Archipelagic Super Highway),
(2) Kota
Multimedia (Multimedia Cities), dan
(3) Nusantara
Multimedia Community Acces Centers ( Pusat Akses Masyarakat Multimedia
Nusantara).
Tim Koordinasi Telematika Nasional secara paripurna merumuskan cetk biru
pengembangan telematika yang mencakup tiga kelompok utama, yaitu infastruktur,
aplikasi, dan sumber daya.
1. Infrastruktur
Menurut
Jonathan L.Parapak (Presiden komisaris PT.Indosat) dalam http://www.bogor.net,
perkembangan infrastruktur ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
kebijakan nasional sector telekomunikasi, regulasi sector, kondisi ekonomi
makro, kemampuan para pelaku nasional. Pada tatanan kebijakan patut dicatat beberapa
kemajuan yang sangat penting, antara lain diundangkannya UU tentang
Telekomunikasi no. 36 tahun 1999 dan dikeluarkannya cetak biru kebijaksanaan
tentang telekomunikasi di Indonesia tanggal 20 Juli 1999.
Pada
tatanan regulasi telah dicapai beberapa perkembangan penting antara lain
dimungkinkannya pern swasta dan masyarakat yang semakin tinggi dalam
pengembangan regulasi yang telah terwujud dalam penetapan tariff dan
interkoneksi standard, dan lain-lain. Pada tatanan penyelenggaraan kondisi
monopoli dan duopoli yang masih menghambat peran swasta dan masyarakat lebih
besar, keadaan ekonomi yang baru tumbuh sangat mempengaruhi daya beli masyarakat.
Dalam
kondisi ini, kelihatannya sasaran pembangunan infrastuktur baik adimarga
informasi, multimedia city akan mengalami penundaan. Namun demikian perlu
dicatat bahwa PT.Telkom telah berupaya membangun lingkar-lingkar adimarga
kepulauan dan infrastruktur multimedia di Jakarta. Infrastruktur informasi
telah maju selangkah dengan beroperasinya satelit Telkom 1.
Salah
satu aspek yang penting adalah pemanfaatan secara optimal infrastruktur yang
ada. Tampaknya perlu dikembangkan kebijaksanaan baik pada tingkat pemerintah
maupun pada tingkat penyelenggaraan agar investasi yang telah dilakukan dapat
termanfaatkan dengan berdaya guna dan berhasil guna bagi berbagai komponen
masyarakat, baik pendidikan, layanan kesehatan, pemerintahan maupun kegiatan
bisnis.
2. Aplikasi
Telematika
Aplikasi
telematika Indonesia terfokus pada pemberdayaan aparatur negara, pemerkayaan hidup
masyarakat (telemedik, telekarya, pendidikan), penciptaan daya saing bisnis
(perbankan,pos,pariwisata,manfaktur), pembangunan informasi dasar dan aplikasi
telematika perlu dilihat dari tatanan kebijakan, regulasi, dan penyelenggaraan
yang di manfaatkan masyarakat.
Dari sudut pandang kebijakan tampaknya
belum terasa perkembangan yang menonjol. Isu kelembagaan masih banyak
diperbincangkan, UU yang terkait dengan atau tentang telematika (cyber law)
masih jauh dari harapan. Beberapa aspek regulasi yang mendesak, misalnya
pengaturan secure transaction, public ke infrastructure registration authority,
electronic payment, certification authority masih belum dilaksanakan.
Namun, perhatian pada perlindungan hak
kekayaan intelektual semakin tinggi dan upaya untuk memantapkan regulasi
semakin mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di lapangan dapat dicatat
perkembangan yang menggembirakan dengan semakin meluasnya homepage,
berkembangnya aplikasi seperti E-commerce, E-Banking, E-Brokerage, dan lain-lain.
Sektor
pemerintah nampaknya berkembang lamban karena kendala keuangan dan sumber daya
manusia. Beberapa kelompok usaha seperti PT. Telkom, Indosat, Lippo e nett,
nampaknya semakin giat untuk mengejar ketertinggalan masyarakat kita di bidang
aplikasi. Aplikasi seperti E-government, tele-education, telemedicine masih
dalam taraf mula yang perlu di dorong berbagai pihak.
3. Sumber Daya Telematika
Dalam
bidang sumber daya , diarahkan pada pengembangan SDM, industri dalam negeri,
hukum dan perdagangan, serta kultur informasi. Secara umum dirasakan bahwa SDM
di dalam negeri belum memenuhi harapan untuk berperan dalam pengembangan
teknologi yang berubah begitu cepat.
Namun
demikian, cukup banyak pula SDM Indonesia di bidang telematika yang bekerja di
luar negeri termasuk di sentra-sentra keunggulan. Usaha berbagai pihak khusunya
sector swasta, nampaknya cukup menggembirakan antara lain dikembangkannya cyber
campus seperti ITB, UPH, dan lain-lain. Yang sangat memprihatinkan adalah
pengembangan industri dalam negeri.
Walaupun
berbagi konsep telah cukup lama di bicarakan seperti Hightech Park di Bandung,
Serpong dan lain-lain sampai saat ini belum mencapai kemajuan berarti. Oleh
karena itu perlu dikembangkan kebijaksanaan nasional untuk mendorong
berkembangnya industri dalam negeri di bidang telematika antara lain sistem
insentif.
Dalam
mempromosikan visi N21, inisiasi perlu datang dari pemerintah. Namun secara
bertahap dan interaktif, visi ini perlu mengakomodasi kebutuhan yang khas dari
berbagai kelompok masyarakat maupun departemen. Untuk itu keterlibatan berbagai
kelompokmasyarakat dalam merumuskan dan mewujudkan program-program telematika
perlu ditumbuh kembangkan secara berangsur-angsur.
Hal
ini pada gilirannya akan membatasi peranan pemerintah, khususnya dalam hal
pengadaan dan pengelolaan kandungan informasi. Control informasi dari
pemerintah justru dipandang sebagai faktor penghambat bagi upaya penyejahteraan
masyarakat melalui jejaring telekomunikasi.
Posisi Perkembangan Indonesia dalam Bidang
Telematika
Sejak
AS, sebagai negara yang paling awal mempunyai inisiatif dalam pembangunan
superhighways informasi, meluncurkan The National Infrastructure Information-nya
pada tahun 1991, banyak negara industri lainnya mengikutinya. Bulan Februari
1996 Inggris dan Jerman memperkenalkan kebijakan-kebijakan superhighways
informasi mereka, yaitu The Information Society Initiative di Inggris dan
program The Info 2000 di Jerman.
Tak
lama kemudian di tahun 1996, negara di Asia Tengah mengikutinya, seperti
Filipina dengan Tiger, Malaysia dengan Multimedia Super Corridor (MSC) dan
Singapura dengan Singapore-ONE. Dan di tahun 1997 Indonesia meluncurkan
kebijakan superhighways informasi dengan nama Nusantara 21. Beda antara
Nusantara 21 dengan kebijakan superhighways informasi negara lain dapat
dijelaskan oleh 5 hal yaitu :
a. Evolusi Teknologi
Teknologi terus
berubah. Prakiraan perkembangan teknologi di masa mendatang sangat beragam. Di
antara banyak negara tidak ada persetujuan mengenai kebutuhan untuk
menghubungkan dengan kabel tempat-tempat paling jauh. Beberapa pakar berfikir
bahwa teknologi wireless yang didukung oleh satelit dengan orbit rendah mungkin
dapat mewujudkan komunikasi broadband dengan baik. Di Indonesia tampaknya
terjadi evolusi teknologi yang unik. Mengingat masyarakat Indonesia sebagian
besar tinggal di pedesaan dan banyak yang buta huruf, sehingga tampaknya
teknologi visual dan pembicaraan (speech) akan lebih mendapat tempat di
masyarakat daripada teknologi informasi dengan tulisan (text).
b. Struktur pasar dan strategi industri
Para aktor strategi industri yang terlibat dalam
pembuatan superhighways informasi tidak tergantung pada negara dimana mereka
tinggal. Strategi-strategi dari para aktor utama dalam industri content juga
menggambarkan ketidakpastian mengenai masa depan peralatan layanan informasi
yang akan di pergunakan. Karena tergantung struktur pasar, bisa jadi di masa
depan strategi yang tepet berada dalam pilihan alternatif antara lain
multimedia ( seperti CD-ROM, perangkat lunak PC dan piringan video digital)
atau kabel (seperti TV kabel, telekomunikasi kabel dengan serat optic) atau
jejaring telekomunikasi dari berbagai jenis teknologi telekomunikasi. Di
Indonesia struktur pasarnya cukup beragam, ada wilayah urban, suburbia, dan
rural. Untuk urban semua alternatif seperti multimedia, kabel, jejaring,
telekomunikasi dapat dipertimbangkan. Tetapi untuk daerah suburbia dan rural,
tampaknya yang paling tepat adalah jejaring telekomunikasi dari berbagai
teknologi yang sebelumnya telah ada dan tinggal mengalami beberapa
penyempurnaan, oleh karena itu Nusantara 21 dipersiapkan mengadopsi jejaring
telekomunikasi dari berbagai jenis teknologi telekomunikasi.
c. Penyusunan Institusional
Kebijakan
– kebijakan superhighways informasi melibatkan berbagai badan atau agen
pemerintah yang berkoordinasi secara fungsional, sektoral ataupun territorial.
Dalam fungsinya, di AS atau Inggris, pemerintah tidak mengontrol seluruh proses
kebijakan karena telah ada agen-agen regulasi independent. Secara sektoral,
konflik dan persaingan institusional dapat terjadi di antara departemen
pemerintah. Di Indonesia yang berperan dalam N21 merupakan tim yaitu Tim
Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang melibatkan banyak menteri sesuai
keppres 30 tahun 1997. Hal ini menunjukkan peran pemerintah Indonesia masih
sangat besar dibandingkan peran swasta, masyarakat dan lain-lain. Adapula
institusi yang lemah posisinya daripada TKTI, yaitu Kelompok Kerja Penyusunan
Konsep Buku Nusantara 21 yang terdiri dari 14 kelompok yang terdiri dari wakil
Telkom, Indosat, dan Universitas.
d. Akomodasi terhadap nilai – nilai nasional
Walaupun
label “masyarakat informasi” yang sama digunakan di berbagai negara, visi
sosial yang dikandungnya memiliki content local yang unik, yang berpijak pada
nilai-nilai sosial dasar masing-masing masyarakat setiap negara. Di Indonesia,
konsep superhighways informasi N21 tidak terlepas dari aspek Wawasan Nusantara
yang heterogen dan Ketahanan Nasional, baik dari segi ekonomi, sosial, politik,
serta pertahanan keamanan, yang telah muncul sejak adanya konsep satelit. Bahkan
N21 sesungguhnya merupakan pemutakhiran dari Palapa, dengan tetap menggunakan
pendekatan pada nilai-nilai yang mempersatukan nusantara. Selain itu, N21
tercakup juga dalam program Multimedia Asia (M2A), program yang bertujuan
mempersatukan wlayah Asia melalui telematika.
e. Interaksi dengan
kebijakan-kebijakan publik lainnya
Melalui
tiga analisis yang umumnya dilakukan di semua negara (daya saing ekonomi,
perbaikan kondisi sosial, liberalisasi telekomunikasi), juga analisis spesifik
untuk masing- masing negara, kebijakan superhighways juga dihubungkan kepada
kebijakan-kebijakan publik lainnya. Di Indonesia, Nusantara 21 berkaitan
dengan kebijakan – kebijakan mengenai daya saing ekonomi masyarakat Indonesia
menghadapi pasar global, kebijakan pengurangan kesenjangan antara lapisan
sosial ekonomi, kebijakan pertumbuhan industri nasional khususnya industri
teknologi telekomunikasi, kebijakan perbaikan kondisi sosial masyarakat,
kebijakan peningkatan pendidikan dan pengajaran serta kebijakan melestarikan
kebudayaan nasional. Sedangkan mengenai kebijakan liberalisasi
telekomunikasi tampaknya tidak terlalu mendapat dukungan. Swasta dilibatkan
tetapi masih terbatas. Tetapi yang tampaknya terpenting dan khas dari N21
adalah interaksinya dengan kebijakan persatuan dan kesatuan Indonesia dan
pertahanan keamanan yang sangat kiat tidak lepas dari nilai-nilai Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional (Yuliar,2001).
Refrensi :
Wawan Wardiana, "Perkembangan Teknologi Informasi
di Indonesia", Makalah Disampaikan pada Seminar dan Pameran
Teknologi Informasi, UNIKOM, Bandung, 9 Juli 2002,